Beranda

Senin, 11 Juli 2011

Problem Kelembagaan Transisi Demokrasi di Daerah

         Demokrasi

            Demokrasi dalam aengertian Yunani kuno adalah the rule of the people (pemerintahan rakyat).saat ini demokrasi tleh merambah dalam berbagai ranah kehidupan: politik, ekonomi, dan budaya.fenomena globalisasi, kekayaan informasi, dan teknologi adalah adalah pertunjukan demokrasi. Budaya juga di rasuki prinsip demokrasi, di mana yang berperan, bukan lagi kualitas tetapi kuantitas. Perubahan demokratisasi ini di sebabkan oleh tiga hal refolusi teknologi, perkembangan klas menengah, dan runtuhnya system-sistem dan idiologi-idiologi altarnatif. Di atas segalanya, amerika serikat memberikan sumbangan paleng besar untuk perubahan ketiganya. Refolusi informasi, misalnya pada tahun 1920-an informasi menjadi corong sentralisasi. Itulah sebabnya gerakan-gerakan perebutan kekuasaan selalu terpusat pertama kali kepada sumber informasi
            Demokrasi dalam pengertian masyaragkat barat merujuk pada konsep demokrasi liberal: bukan hanya ditandai oleh pemelihan umum yang bebas dan adil, melainkan juga adanya “rule law”. Defanisi ini sangat berbeda dalam fakta, dimana demokrasi tidak selalu berjalan seiring dengan kebebasan.
            Oleh karenanya, demokrasi manjadi terlalu simplistic jika hanya didefenisikan tarbatas pada pemenuhan hak-hak politik, ekonomi, social, dan agama. Demokrasi procedural juga begitu. Fareed zakaria memberikan penekanan bahwa demokrasi seharusnya hanya bermakna sebuah pemerintahan yang baik.
             Berbeda dengan demokrasi, liberalisme konstitusional bukanlah prosedur seleksi pemerintahan, malainkan lebih sebagai hasil-hasil pemerintah liberalisme konstitusional merujuk pada sejarah berat yang menjaga otonomi dan martabat individu untuk melawan paksaan agama, gereja, dan masyarakat. Di sebut liberal karena menggambarkan ketegangan filosofis sejak yunani dan romawi yang menekankan kebebasan individu
Dengan kata lain juga, definisi sederhana itu dalam perkembangannya mengalami kemerosotan makna ( pejoratif ). Dalam berbagai literatur ilmu politik konsep demokrasi dikaji dan dimaknai dengan dua pendekatan yang berbeda. Yang pertama kali muncul adalah pendekatan klasik- normatif yang lebih banyak mebicarakan tentang ide- ide dan model- model demokrasi secara substantif. Pendekatan ini mengikuti garis pemikiran klasik – dari zaman Yunani  kuno, abad pertengahan sampai pada pemikiran sosialisme Karl Marx – yang memaknai demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan ( kerangka preskripsi  secara normatif untuk sistem politik). Pendekatan klasik normatif mendefinikan demokrasi dengan term kehendak rakyat sebagai sumber atau alat untuk mencapai tujuan kebaikan bersama.
Karena diilhami oleh banyak tradisi pemikiran, pendekatan klasik normatif memaknai dan mengukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukan unsur- unsur nonpolitik (sosial, ekonomi dan budaya). Kebebasan sebagai esensi dalam demokrasi, tidak hanya diterjemahkan sebagai kebebasan politik (berbicara, memilih, berkumpul, berorganisasi) tetapi juga kebebasan sosial ekonomi (yakni bebas dari berkeadilan, kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan dan sebagaimnya) para pemikir tradisional pencerahan seperti Rousseau dan Jhon Struat Mill, hingga pemikiran radikal seperti Karl Marx sepakat bahwa ketimpangan sosial ekonomi merupakan kendala bagi persamaan politik dan demokrasi. dengan kata lain suatu negara yahng diwarnai dengan ketimpangan sosial ekonomi tidak bisa dikatakan demokratis meski kebebasan politiknya terjamin.
Disisi lain pendekatan klasik normatif sangat memperhatikan elemen konstitusi dan gagasan rule of law  untuk mengatur prosedur kelembagaan, hak dan kewajiban rakyat (warga negara) serta untuk membatasi penggunaan kekuasaan sehingga mereka tetap berkuasa atas kehendak rakyat. Akan tetapi pendekatan klasik normatif mulai kehilangan pengaruh dihadapan ilmuan politik ketika studi demokratisasi berkembang sejak hakir dekade 1970-an. Pendekatan ini hanya digunakan oleh para ilmuan yang membicarakan ide – ide, wacana dan model - model demokrasi.
            Secara umum demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan Pendekatan empirik minimalis yang menjadi basis pemikiran studi demokrasi di daerah lebih mengacu pada konstruksi teorinya Robert A. Dahl. Dahl menawarkan sebuah konsep demokrasi minimalis yang disebut sebagai ”poliarkhi”. Di dalam poliarkhi ada sebuah derajat kontestasi publik yang tinggi (liberalisasi) maupun partisipasi (Inklusivitas). Untuk menjamin bekerja mekanisme poliarkhi, Dahl menyatakan bahwa rakyat harus diberi kesempatan untuk:
1.      merumuskan pilihan (perferensi) atau kepentingannya sendiri
2.       memberitahukan perferensinya itu pada sesama warga negara dan pemerintah lewat tindakan individual maupun  kolektif
3.       mengusahakan agar kepentingannya itu pertimbangannya secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak ada diskriminasi berdasarkan isu atau asalnya .
Derajat pemetaan tentang transisi demokrasi pada pemerintahan di daerah tersebut dapat bagi kedalam beberapa varian berdasarkan bentuk pola pemerintahannya dan lembaga- lembaga yang ada dalam daerah tersebut. Demokrasi disini dapat di tempatkan sebagai variabel kontinu bukan dikotomis dengan nondemokrasi yang dipilah menjadi tiga  yakni demokrasi (penuh), semi demokrasi dan nondemokrasi.
sistem politik dikatakan demokrasi bila memenuhi tiga kriteria yang ditetapkan oleh Diamond. Derajat dibawahnya adalah semidemokrasi atau disebut sebagai demokrasi yang terbatas (restricted democracy), yang ditandai oleh:
1.                           tingkatan substansial kompetisi dan kebebasan politik tetapi kekuasaan efektif  pemimpin- pemimpin yang terpilih sangat terbatas dan ada harapan dari perferensi publik;
2.                           kekebasan sipil dan politik sangat terbatas dimana oreantasi dan kebebasan politik tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan itu. Sementara derajat yang paling rendah adalah nondemokrasi yakni rezim yang tidak memberikan kesempatan berkompetisi dan berpartisipasi secara bebas.
Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “Raad” atau dewan masyarakat-masyarakat daerah pertama kali dibentuk. Dari proses transisi tersebut nantinya dapat membantu membingkai proses tumbuhnya komunitas yang ada dalam pemerintahan daerah

        Menjelaskan Transisi Menuju Demokrasi

Dalam detour pada konsep demokratisasi yang didalamnya akan mencakup transisi, liberalisasi, instalasi dan konsolidasi demokrasi. demokratisasi adalah jalan atau proses perubahan dari rezim nondemokratis menjadi rezim demokratis.
Menurut samuel Huntington, demokrasi pada tingkatan sederhana mencakup :
1.      berakhirnya sebuah rezim otoriter;
2.      dibangunnya sebuah rezim demokrartis
konsolidasi rezim demokratis. Dalam membingkai kerangka konseptual ini dapat mengikuti konsep teoritis demokratisasinya Dahl, yaitu demokratisasi berarti proses perubahan rezim otoritarian (hegemoni tertutup) yang tidak memberikan kesempatan partisipasi dan liberalisasi menuju poliarkhi yang memberikan derajat kesempatan partisipasi dan liberalisasi lebih tinggi rumit tetapi saling berkaitan, dari liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi. liberalisasi adalah proses pengefektifkan hak- hak politik yang melindungi individu- individu dan kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang dan tidak sah dari negara atau pihak ketiga. Liberalisasi seperti dalam konseptualisasi Dahl (1971) mencakup konstelasi publik dan partisipasi dalam prosedur kelembagaan semacam pemilihan umum serta terbukanya kesempatan publik unutk mengekspresikan kebebasan politinya (kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi ) akan tetapi liberalisasi tidak sama dengan demokratisasi, meski ia muncul dalam proses transisi, liberalisasi tidak mesti diikuti dengan instlasi demokrasi yang penuh (fully democracy). Tanpa jaminan bagi kekebasan individu dan kelompok yang inheren dalam liberalisasi, demokratisasi mungkin diturunkan derajatnya menjadi sekedar formalisme dalam sistem semi demokrasi/demokrasi terbatas (restricted democracy). Disisi lain tanpa pertanggungjawaban terhadap rakyat dan minoritas pemilih yang telah terlembaga dibawah demokrasi liberalisasi akan mudah dimanipulasi dan bahkan dibatalkan demi kepentingan mereka yang duduk di pemerintahan
Tahapan dari liberalisasi adalah transisi, transisi disini didefinisikan sebagai titik awal atau interval (selang waktu) proses perjalanan pemerintahan di daerah diantara berbagai periode kekuasaan pemerintahan mulai dari masa penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru Dan masuk pada rezim yang lebih demokratis yaitu pada masa reformasi. Dalam artian lain transisi yang dapat di lihat disini adalah pengesahan (instalasi) lembaga- lembaga politik pada pemerintahan di daerah dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi. Tetapi seperti halnya liberalisasi, transisi tidak mesti berakhir dengan sebuah instalasi kerangka demokrasi seperti konsep Dahl yang di pakai, sebaliknya bisa saja nanti dari hasil temuan dilapangan, bisa saja tercipta rezim otoritarian baru dalam menjelaskan dinamika pemerintahan daerah, atau bisa saja sifat dari demokrasi tersebut  lebih ke semi demokrasi. 
Walaupun Gelombang demokratisasi sejak akhir dekade 1970-an  hingga 1990-an dan merupakan objek yang paling menarik bagi para ilmuan politik, akan tetapi saya perlu melontarkan beberapa kritik awal bahwa sebahagian besar studi demokratisasi seperti dalam karyanya Huntington, Juan Linz, Seymour Martin Lipset, O’Donnel dan sebagainya sangat diilhami oleh ’semangat’ Eropa Selatan dan Amerika Latin dan tidak semuanya cocok dijadikan sebagai rujukan bagi studi demokrasi di wilayah pemerintahan daerah di Indonesia. Sejumlah kajian demokratisasi umumnya masih terombang- ambing antara kajian ideografis (melalui metode deskriptif- historis yang mendalam mengenai kejadian dan aktor) dan renungan abstrak dan normatif tentang prinsip- prinsip demokrasi yang didukung oleh sedikit bukti yang sistematis. Kajian ideografis ini memang memberikan sumbangan yang berharga karena akan menjelaskan apa yang disebut oleh Dahl ’profil negeri’ dengan meliputi beberapa unsur pluralisme subkultur, tatanana sosial dan ekonomi. Akan tetapi kelemahan yang mendasar dari kajian ideografis ini adalah ketidakmampuan menarik suatu generalisasi (nomotetik) yang punya kekuatan eksplanasi dan prediksi secara memadai dan komparatif.
sejauh yang dapat di lihat terdapat perspektif utama yang menjelaskan proses transisi menuju demokrasi pada politik daerah di Indonesia yaitu terletak pendekatan kontigensi elite.
Pendekatan kontigensi yang sepenuhnya berpusat pada strategi dan pilihan- pilihan kontigen akor atau elite politik.
 politik dalam proses menuju transisi demokrasi. Masih banyak karya lain yang terfokus pada peran aktor ( elite) politik dalam proses transisi menuju demokrasi, karya huntington (1991) misalnya mengulas bhwa keberhasilan demokratisasi sangat bergantung pada kemampuan elite ”pembaharu liberal ” dalam pemerintah untuk mengakali pola- pola yang mapan.
Dalam konteks indonesia, Harold Crouch adalah analisis yang menggunakan pendekatan kontigensi untuk mengkaji prospek demokrasi. dengan menolak- lemen- elemen sosio – ekonomi, struktur kelas, budaya, tekanan eksternal dan kekuatan oposisi, Menurut  Crouch selama elite tetap terbagi dan persaingan mereka melibatkan mobilisasi dukungan nonelite, ada kemungkinan sistem akan menjadi lebih terbuka dan liberal. Fenomena ini akan  semakin terlihat dengan jelas bahwa konflik elite membawa efek liberalisasi terbatas, seperti dalam bentuk keterbukaan politik semakin dinamis. semakin lama situasi ini berlangsung reformasi akan semakin menjadi melembaga dan elite akan semakin terbiasa dengan kompetisi politik. ”tindakan elite ” sebagai variabel terdepan yang sangat menentukan transisi, sebab transisi menuju demokrasi tidak hanya berkaitan dengan ”apa yang mendorong” tetapi juga ” siapa yang mengawali”.
Dalam perspektif elitis terdapat dua macam pendekatan teoritis yang berlainan dalam menerangkan keberadaan kelompok elite. Teori pertama kelompok elite dianggap lahir dari proses alami. Mereka adalah orang- orang yang terpilih yang memang dikaruniai dengan kepandaian dalam memecahkan persoalan hidup. Dengan demikian kelompok ini lahir bukan karena mereka menempati posisi strategis dalam masyarakat, tetapi karena memiliki kapasitas personal yang lebih potensial unutk menempatkan posisi itu. Dalam pendekatan teoritis yang kedua kelompok elite dikonsepsikan sebagai orang- orang yang terpilih menempati fungsi- fungsi penting dalam organisasi sosial, mereka diberi wewenang dan dipercaya untuk menjaga dan mengontrol ekonomi politik.
Untuk melihat proses terbentuknya komunitas elite di daerah dalam masa transisi demokrasi, dua pendekatan teoritis diatas dapat di bagi menjadi dua periodesasi masa transisi demokrasi daerah yaitu
1.teorisasi elite yang pertama di pakai untuk menganalisa komunitas elite politik didaerah mulai dari sebelum indonesia merdeka, karena sifat dari pembentukan elitenya lebih didasarkan pada pemilihan yang alami dimana jabatan tersebut diserahkan langsung sesuai dengan kapasitas yang dia miliki.
2.teorisasi elite yang kedua saya pakai untuk menganalisa terbentuknya komunitas baru elite politik setelah indonesia merdeka, dimana sirkulasi elitenya sudah didasarkan pada kompetisi.
Menurut Dahl supaya pemerintah bisa tanggap terhadap rakyat atau supaya pemerintah bisa berperilaku demokratis, maka rakyat harus diberikan kesempatan untuk:
1.         merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri.
2.         memberitahukan preferensi tersebut kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual atau kolektif.
3.         mengusakan agar kepentingan itu di pertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak diskriminasi berdasarkan isi dan asal usulnya.
Ada keyakinan saya untuk melihat cara pandang desentralisasi dan demokrasi daerah untuk memaknai dan membingkai sebuah komunitas baru elite politik di daerah karena desentralisasi dan transisi demokrasi daerah yang di kemukakan di sini mempunyai misi:
1.  nagari dapat dipahami dengan kerangka pemerintahan sendiri yang berbasis (self-governing community). sebuah formasi pemerintahan otonom yang melekat pada daerah sejak lama.daerah adalah suatu kesatuan geneologis dan teritorial yang menjadi dasar terbentuknya berbagai sistem dalam kehidupan bermasyarakat meliputi sistem pemerintahan, ekonomi, sosbudaya. Artinya daerah mempunyai otonomi (kemandirian) dalam membangun organisasi kekuasaan dan pemerintahan, keleluasaan mengambil keputusan daerah, mengelola sumberdaya daerah, mengelola interaksi sosial, mempunyai pola pengelolaan konflik dan sistem peradilan.
2.  ketika daerah sudah masuk ke dalam formasi besar negara-bangsa, maka konsep subsidiarity sangat penting untuk memaknai ulang keberadaan daerah (1903-2007). otonomi daerah sekarang adalah “pemberian” negara. Karena itu, untuk membangkitkan (revitalisasi) semangat “republik kecil”, konsep subsidiarity adalah jawabannya. Sebagai sebuah prinsip politik, subsidiarity bukan sekadar berbicara tentang pembagian kewenangan ke unit pemerintahan yang lebih rendah, melainkan berbicara tentang pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan secara mandiri oleh unit pemerintahan atau komunitas yang paling rendah

  problem yang di hadapi

ada beberapa problem-problem yang di mana terkait dengan demokrasi di daerah, yaitu sebagai berikut :
1.      masih terkait dengan system politik
2.      pelaksanaannya mash terikat dengan aturan-aturan formal yang terdapat dalam konstitusi
  1. harus ditentukan dari sejauh mana nilai- nilai lokal yang tidak bertentangan dengan demokrasi yang mendapat tempat dan diserap sebagai bahan pokok untuk menjalankan kehidupan yang demokratis. Demokrasi seharusnya membutuhkan sebuah ”pembumian” makna dimana setiap prilaku yang terkait dengan publik dan interaksi sosial politik didalamnya didasari oleh nilai- nilai utama demokrasi seperti partisipasi dan akuntabilitas. Jika tidak maka pelaksanaannya tidak maksimal dan ini menjadi problem dari kelembagaan transisi di daerah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar